MALANG KOTA-”Kalau takut menulis, kita tidak akan menghasilkan tulisan apa-apa,” kata sastrawan Okky Madasari ketika berdiskusi dengan para mahasiswa di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang (UM) Jum’at siang (27/5).

Diskusi kemarin merupakan salah rangkaian dalam lawatan Okky kesejumlah kota. Di UM, Oky berbicara dalam diskusi bertema Sastra, Perlawanan Simblik-Tekstual dan Kekuasaan: Meneropong Novel Okky Madasari. Dalam diskusi yang berlangsung sekitar dua jam itu, Okky ditemani Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof Djoko Saryono.

Perempuan 31 tahun yang sudah menerbitkan lima novel ini

lantas menjelaskan keberaniannya dalam menulis novel berjudul Pasung Jiwa. Novel ini berbuah kontroversi karena mengangkat cerita dengan setting kekejaman rezim orde baru.”Saat terbitnya novel Pasung Jiwa, bukan saya yang takut melainkan penerbitnya yang gentar. Bagi saya ini bukan kesalahan, namun kenyataan yang harus dibeberkan,” tegasnya yang disambut tepuk tangan mahasiswa.

Peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2012 mengatakan kalau kenyataan perlu disampaikan. Jika ada yang merasa emosi pada karyanya, maka bisa jadi cerita dalam novel Okky benar-benar terjadi.

Terkait literasi di Malang, Okky mengaku optimis dengan dunia literasi yang ada di kota pendidikan ini.”Penulis muda di Malang memiliki potensi karena saya melihat mereka sangat aktif, apalagi saat ini menerbitkan karya satra tidak perlu biaya yang besar, saya yakin Malang akan semakin berkembang,” jelas istri Abdul Khalik ini.

Sementara itu, Prof Djoko Saryono menyebut karya yang diangkat Okky ini ibarat makanan dengan nutrisi tinggi. Sayangnya, karya tersebut masih kalah dengan karya cepat saji seperti buku-buku dengan judul 30 Menit Menjadi Orang Sukses dan beberapa buku tentang cara instan.

Buku yang berisi tips cepat tersebut memiliki penjualan yang jauh lebih laris namun kurang nutrisi, layaknya makanan cepat saji. Sedangkan karya Okky jauh lebih sehat dengan rasa yang kurang disukai, karena gaya bahasanya yang berat dan memiliki kualitas sastra yang mumpuni.”Mereka yang bergerak di jalan ini saya sebut pejuang literasi, karena menjadi seorang penulis seperti ini tidak memberikan kekayaan harta yang melimpah,” jelas Guru Besar Bahasa Indonesia UM ini.

Djoko melanjutkan, hasil karya Penulis novel Entrok ini dia ibaratkan oase kala dominasi buku yang tidak bernutrisi laris dibeli. Selain itu, menggemanya media sosial serta dunia online kian mengikis minat para generasi muda untuk membaca dan menulis. Hal ini yang dia sebut dengan lisan sekunder, atau menjadi aktif di medsos namun pasif dengan dunia sosialnya.(ded/riq)

 

Similar Posts